Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Daftar Sekarang Juga: Klik Disini

Tak Semuanya Sayang, Ibu di Brebes Justru Cabut Nyawa Anaknya Sendiri

Kasus ibu yang membunuh anak kandungnya di Brebes memicu keprihatinan publik. Satu anak meninggal dunia karena luka senjata tajam di lehernya, sedangkan dua lainnya dirawat di rumah sakit.

Melansir Kompas.com, Peristiwa penganiayaan itu terasa semakin menyayat hati karena pengakuan pelaku soal motif tindakannya itu.

Wanita berusia 35 tahun itu mengaku tak ingin anaknya sedih dan menderita di dunia, seperti yang dialaminya, sehingga lebih baik dihilangkan nyawanya.

Lucia Peppy Novianti, M. Psi, pakar psikologi forensik, menyatakan kasus ini benar-benar membuat dirinya, seperti banyak orang lainnya, tertegun dan speechless.

"Bahwa sampai ada seseorang yang punya pemikiran cara untuk menyelamatkan dengan melakukan tindakan yang penuh kekerasan pada anaknya sendiri," katanya kepada Kompas.com, Senin (21/03/2022).

Namun peristiwa tragis ini sekaligus sebagai gambaran akan persoalan kesehatan mental di masyarakat yang seringkali minim perhatian.

Lucia mengatakan, masalah kesehatan mental bukan hanya terkait suatu tindakan yang di luar nalar, seperti tindakan penganiayaan di Brebes ini, namun juga kehidupan sehari-hari.

Seseorang dengan persoalan kesehatan mental seseorang bisa saja dalam kondisi mild atau ringan sehingga tetap bisa berfungsi sehari-hari.

"Namun kalau dibiarkan tidak dikelola maka bisa jadi lebih serius, menimbulkan persoalan, ketidakberfungsian, atau perkara yang lebih luas," jelasnya.

Persoalan kesehatan mental, seperti yang dialami para ibu, juga berkaitan dengan berbagai urusan kehidupan sosial, aspek lain sehingga multidimensional.

Maka ia menilai penting untuk melihat kasus ini dalam perspektif yang lebih luas, termasuk soal daya dukung sosial, tekanan kehidupan sehari-hari, seperti faktor ekonomi, sosial, dll.

Pelaku penganiyaan di Brebes diduga mengalami gangguan jiwa sehingga melakukan hal yang di luar nalar orang biasa.

Lucia berpendapat, tidak adil untuk menilai apakah pelaku dalam kondisi depresi atau mengalami gangguan kesehatan mental hanya berdasarkan pengamatan belaka.

Apalagi jika sumbernya hanya kondisi saat penangkapan oleh petugas kepolisian, video amatir yang beredar atau pendapat para tetangganya.

"Ketika kejadian, perilaku itu menandakan perilaku yang tidak biasa, faktanya demikian, tapi yang bersangkutan mengalami depresi, tidak bisa langsung menyatakan tandanya dari amatan itu," katanya.

Daftar Sekarang Juga: Klik Disini